Kamis, 14 Januari 2016

IBD Kampung Budaya Tmii (Jawa Tengah)




Ilmu Budaya Dasar
Kampung Budaya
TMII “Anjungan Jawa Tengah”
                                                     
Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Ibu kotanya adalah Semarang. Provinsi ini berbatasan dengan provinsiJawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 28,94% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.
Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai "jantung" budaya Jawa. Meskipun demikian di provinsi ini ada pula suku bangsa lain yang memiliki budaya yang berbeda dengan suku Jawa seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat. Selain ada pula warga Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi ini. Sejak tahun 2008, provinsi Jawa Tengah memiliki hubungan kembar dengan provinsi Fujian di China.

SEJARAH                      
Jawa Tengah sebagai provinsi dibentuk sejak zamanHindia Belanda. Hingga tahun 1905, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) yakni Semarang, Pati, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan. Surakarta masih merupakan daerah swapraja kerajaan (vorstenland) yang berdiri sendiri dan terdiri dari dua wilayah, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, sebagaimana Yogyakarta.Masing-masing gewest terdiri atas kabupaten-kabupaten.Waktu itu Pati Gewest juga meliputi RegentschapTuban dan Bojonegoro.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi otonomi dan dibentuk Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente (kotapraja) yang otonom, yaitu Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang.
Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki Dewan Provinsi (Provinciale Raad).Provinsi terdiri atas beberapa karesidenan (residentie), yang meliputi beberapa kabupaten (regentschap), dan dibagi lagi dalam beberapa kawedanan (district). Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 5 karesidenan, yaitu: Pekalongan, Pati, Semarang, Banyumas, dan Kedu.
Menyusul kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945 Pemerintah membentuk daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran; dan dijadikan karesidenan.Pada tahun 1950 melalui Undang-undang ditetapkan pembentukan kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kotamadya.Penetapan Undang-undang tersebut hingga kini diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus1950.

Logo Provinsi Jawa Tengah 
Arti Logo Provinsi Jawa Tengah :

·         Bentuk Kundi Amarta yang berbentuk dasar segi lima melambangkan dasar falsafah Negara yakni Pancasila.
·         Laut bergelombang melambangkan kehidupan masyarakat di Jawa Tengah.
·         Candi Borobudur melambangkan daya cipta yang besar tradisi yang baik dan nilai-nilai kebudayaan yang khas dari rakyat Jawa Tengah.
·         Gunung Kembar mempunyai arti bersatunya rakyat dan Pemerintah Daerah.
·         Perpaduan antara Laut dan Gunung Kembar dengan latar belakangnya yang hijau menggambarkan keadaan alamiah Daerah Jawa Tengah dengan bermacam-macam kekayaan alamnya sebagai kehidupan dan penghidupan Rakyat Jawa Tengah.
·         Bambu Runcing melambangkan Kepahlawanan dan Keksatriaan Rakyat Jawa Tengah.
·         Bintang bersudut Lima berwarna kuning emas yang disebut juga “Nur Cahaya” melambangkan kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa dari rakyat Jawa Tengah.
·         Padi dan Kapas melambangkan kemakmuran rakyat Jawa Tengah.
·         Umbul-umbul Merah Putih melambangkan daerah Jawa Tengah sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Suku
Komposisi Etnis Jawa Tengah pada Tahun 2000
Etnis
Jumlah (%)
Jawa
97,96
Sunda
  1,05
Tionghoa
  0,54
Madura
  0,05
Batak
  0,05
Arab
  0,03
Minangkabau
  0,02
Betawi
  0,02
Melayu
  0,02
Bugis
  0,01
Banjar
  0,01
Lain-lain
  0,24
Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2000
Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah dikenal sebagai pusat budaya Jawa, di mana di kotaSurakarta dan Yogyakarta terdapat pusat istana kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini.
Suku minoritas yang cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di kawasan perkotaan meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan.Pada umumnya mereka bergerak di bidang perdagangan dan jasa.Komunitas Tionghoa sudah berbaur dengan Suku Jawa, dan banyak di antara mereka yang menggunakan Bahasa Jawa dengan logat yang kental sehari-harinya. Pengaruh kental bisa kita rasakan saat berada di kotaSemarang serta kota Lasem yang berada di ujung timur laut Jawa Tengah, bahkan Lasem dijuluki Le Petit Chinois atau Kota Tiongkok Kecil.

Bahasa
Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari.Bahasa Jawa Dialek Solo-Jogja atau Mataram dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar.
Di samping itu terdapat sejumlah dialek Bahasa Jawa; namun secara umum terdiri dari dua, yakni kulonan dan timuran.Kulonan dituturkan di bagian barat Jawa Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal; dialek ini memiliki pengucapan yang cukup berbeda dengan Bahasa Jawa Standar.Sedang Timuran dituturkan di bagian timur Jawa Tengah, di antaranya terdiri atas Dialek Mataram (Solo-Jogja), Dialek Semarang, dan Dialek Pati.Di antara perbatasan kedua dialek tersebut, dituturkan Bahasa Jawa dengan campuran kedua dialek; daerah tersebut di antaranya adalah Pekalongan dan Kedu.

Agama
  
96%
  
1.7%
Kristen
  
2%
  
1%
  
0.5%
  
0.3%
Lainnya
  
0.3%

Sebagian besar penduduk Jawa Tengah beragama Islam dan sebagian masih mempertahankan tradisi Kedjawen.Kedjawen (bahasa JawaKejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kedjawen hakikatnya adalah suatu filsafat dimana keberadaanya ada sejak orang Jawa (Bahasa Jawa: Wong Jawa , Krama: Tiyang Jawi )itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya.Kitab-kitab dan naskah kuno Kedjawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku.Kedjawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kedjawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kedjawen, yaitu mengarahkan insan :Sangkan Paraning Dumadhi (. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya :Manunggaling Kawula lan Gusthi ("Bersatunya Hamba dan Tuhan"). Dari itu, ajaran Kedjawen memiliki misi sebagai berikut:
  1. Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
  2. Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
  3. Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
  4. Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
Kaum kedjawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jatidirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kedjawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. Jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kedjawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kedjawen, Hindu Kedjawen, Kristen Kedjawen, Budha Kedjawen.
Agama lain yang dianut adalah Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, dan puluhan aliran kepercayaan. Penduduk Jawa Tengah dikenal dengan sikap tolerannya.Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi dengan populasi umat Kristen dan Katolik terbesar di Indonesia.Sebagai contoh di daerah Muntilan, Kabupaten Magelang banyak dijumpai penganut agama Katolik, dan dulunya daerah ini merupakan salah satu pusat pengembangan agama Katolik di Jawa. Di lain daerah, suatu desa di kecamatan Sumpiuh, Banyumas, 100% penduduknya beragama Islam.
Terdapat pula orang-orang keturunan Yahudi dan menganut agama Yahudi di Jawa Tengah yang jumlahnya sangat sedikit sekali.Mereka ada di wilayah Semarang, Cilacap, Solo, dan Brebes. Mereka umumnya adalah Yahudi keturunan Belanda pada zaman koloni

Rumah adat Jawa Tengah        
Rumah adat yang berasal dari Jawa Tengah disebut dengan Joglo.Joglo terbuat dari kayu, mempunyai nilai seni yg cukup tinggi, berdenah bujur sangkar dan mempunyai empat pokok tiang di tengah (saka).Joglo hanya dimiliki orang dari kalangan atas atau yang mampu.Rumah joglo guru, blandar bersusun yang yang dikenal dengan tumpangsari.Blandar tumpangsari bersusun ke atas semakin ke atas bentuknya semakin melebar.


Pakaian Adat Jawa Tengah
Pakaian adat atau pakaian tradisional Jawa Tengah untuk wanita adalah kebaya yang dilengkapi dengan kemben dan kain tapih pinjung lengkap dengan stagen. Untuk kalangan pria pakaian adat yang dipakai oleh kerabat keratin adalah beskap kembang atau motif, kepala memakai blankon (destar), kain samping jarik, stagen untuk mengikat kain samping serta keris dan cemila (alas kaki). Pakaian tersebut disebut dengan Jawi Jangkep (pakaian adat Jawa lengkap dengan keris).

Kesenian Jawa Tengah

Batik
Batik saat ini sangat populer, tidak hanya di Indonesia saja bahkan di dunia.Setiap daerah memiliki motif yang berbeda.Untuk Jawa Tengah motif dasar terikat pada pakem tertentu yang bersifat simbolis dengan latar kebudayaan Hindu Jawa.


Wayang Kulit
Kesenian wayang kulit berkembang pada jaman Hindu Jawa dan ada sebelum kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia. Tokoh yang digambarkan adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata(perwujudan dari Dewa Wisnu).




Tari Serimpi
Tari serimpi merupakan tarian tradisional dari Jawa Tengah, yang memperagakan tarian ini adalah 4 orang wanita.Ini sesuai dengan arti kata “serimpi” sendiri yaitu empat. Kanjeng Brongtodiningrat menyatakan bahwa 4 penari merupakan symbol penjuru mata angin yaitu air (Toya), api (Grama), udara (angin) dan tanah (Bumi). Nama peranannya yaitu Dahada, Gulu, Batak serta Buncit yang melambangkan atau mencerminkan Tiang Pendopo.



Gamelan Jawa
Gamelan adalah budaya Hindu yang dirubah guna mendorong kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut) oleh Sunan Bonang. Tembang “Tombo Ati” adalah karya Sunan Bonang dan sampai saat ini masih dinyanyikan dengan nilai-nilai ajaran islam (contoh: pewayangan, pernikahan dan ritual keratin).



Ketoprak
Di Jawa Tengah teater rakyat disebut dengan Ketoprak.Ketoprak ini biasanya diiringi oleh gamelan.
Beberapa adat istiadat yang dilakukan di Jawa Tengah adalah acara kehamilan nujuh bulanan atau mitoni, selamatan kelahiran bayi (Brokohan), balita untuk pertama kalinya menginjak tanah (tedak siten) berusia 245 hari (si anak di masukkan kedalam kurungan yang sudah dihiasi pernak pernik), acara pernikahan, siraman satu hari sebelum pernikahan serta upacara brobosan (melintas di bawah mayat yang sudah di tandu dengan cara berjongkok).



Senjata Tradisonal Jawa Tengah                   
Sejak zaman dulu, keris selalu menjadi lambang kekuatan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Pada dasarnya, keris tidak berbeda dengan senjata tradisional lainnya. Bermata tajam serta digunakan untuk memotong, menusuk, atau mengiris. Pada masa lalu, keris juga dipakai sebagai simbol identitas diri, baik itu untuk diri sendiri, keluarga, atau klan. Keris seorang raja berbeda dengan keris perwira atau abdi dalem bawahannya. Tidak hanya bilah kerisnya saja yang berbeda tapi juga detil-detil perhiasan perangkat pelengkapnya pun berbeda.

                                           
Keris telah dibuat oleh para empu pembuat keris sejak zaman dulu. Campuran antara materi baja dengan meteorit, dengan teknik tempa lipat, menjadikan keindahan fisik keris terbentuk.
Dalam dunia perkerisan, dikenal istilah pamor daden. Pamor daden adalah pamor atau “cahaya” yang terbentuk secara spontan, tanpa rekayasa sang empu pembuat keris. Menurut percobaan yang dilakukan, keris biasanya memiliki kandungan radioaktivitas yang tinggi, oleh karenanya perlu ada cara untuk menetralkannya. Salah satu cara menetralkan bahaya radiasi itu dengan menyarungkan bilah keris ke dalam rangka kayu tertentu. Kayu-kayu yang biasa digunakan adalah kayu Timoho, Trembalu, Cendana, Awar-awar, Galih asem, Liwung, atau gading gajah.
Selain itu, ada pula istilah pamor rekan atau pamor buatan. Pamor rekan adalah jika sejak awal pembuatan keris, sang empu keris menginginkan “cahaya” tertentu dari kerisnya.